Nuansa harmonis penuh warna oranye ruangan ini mengingatkaku
kepada sekian milyaran kenangan yang terputar kembali di pelupuk mata. Senyum
lebar yang selalu terpasang ketika semua kenangan masa itu teringat olehku.
Alunan musik Sheila On 7 yang masih terdengar merdu dan sangat familiar di
kuping selalu terdengar apik untuk kami ikut bersenandung. Semangkok Soto Ayam
dengan krupuk dan es jeruk merupakan menu andalan kami ketika waktu istirahat datang.
Meja ini hingga sekarang pun tak berubah bentuk, hanya berubah warnanya saja
tapi tak mengurangi kenangan yang ada. Meja kedua dari belakang ini selalu
menjadi meja favoritku untuk menyantap menu makan siang. Lengkap sudah, tempat
favorit dengan menu makanan favorit pula. Sempurna ketika semua itu ditambah
dengan kehadiran sahabat baruku, Jenita.
“Mau makan apa mbak?” suara ibu-ibu separuh baya itu
memecah lamunanku.
“Seperti biasa aja mbok, soto sama es jeruk”
jawabku.
“Siap mbak, datang kesini pasti kangen masa-masa
kecil dulu ya mbak?” tanyannya ;agi.
Pertanyaan itu hanya kubalas dengan senyuman getir
teringat semua kenangan yang sangat membuatku semakin merasa bersalah. Suara
parau mbok Jum tak pernah berubah walaupun saat ini sudah berumur 62 tahun. Dia
adalah saksi kunci kisah persahabatanku dengan Jeni.
Masuk ke Sekolah Menengah Pertama tentu sangat
diimpikan bagi remaja seusiaku yang baru saja lulus dari Sekolah Dasar. Saat
itu tepat di umurku yang ke 13 tahun, ketika anak seusiaku memang bisa dibilang
masa Puber yang mana masa itu adalah
masa-masa yang penuh akan rasa ingin tahu. Mungkin bagi orang-orang dewasa kami
anak SMP masih sangat kecil dan masih perlu banyak bimbingan. Ya memang, saat
ini mungkin ketika mengingat masa itu 8 tahun yang lalu mampu membuat kita
berkata “betapa konyolnya aku waktu itu, sok tau!!”.
***
Jeni Takisa,
gadis yang biasa dipanggil dengan Jeni ini adalah teman pertama yang aku temui
ketika aku baru menjadi siswi baru di salah satu Sekolah Menengah favorit di
Kotaku. Dia memiliki rambut yang hitam legam sebahu dan memiliki kulit yang
putih bersih. Ya bisa dibilang kulitnya lebih putih jika dibandingkan kulitku.
Jeni memiliki satu lesung pipit di pipi kanannya dan apabila dia senyum maka
lesung pipit itu akan terlihat sangat manis jika dipadukan dengan gigi
gingsulnya yang juga dimilikinya. Orangnya sangat ceria dan pandai sekali dalam
bergaul dan prestasi non ademiknya juga luar biasa apalagi di bidang olahraga
dan musik.
Aku sendiri memilih untuk masuk di sekolah tersebut
karena disuruh Ibuku yang notabene adalah seorang Guru BK di sana. Dan waktu
itu karena akupun tidak tahu mesti melanjutkan sekolah ke mana. Yang ada
dipikiranku saat itu hanyalah mengiyakan
tawaran ibuku untuk masuk ke sekolah dimana Ia mengajar di sana.
Aku memiliki perawakan yang tidak cukup tinggi dengan
rambut yang tidak terlalu panjang sekitar di bawah bahu. Tak ada sesuatu yang
istimewa dari fisikku karena dari kecil bisa dibilang aku sangat tidak perduli
dengan penampilanku. Mungkin yang bisa sedikit dibanggakan adalah kemampuanku
dibidang akademik, karena terhitung dari kelas 1 Sekolah Dasar aku tak pernah
luput dari deretan ranking 10 besar. Mungkin
hanya itu yang bisa orangtuaku banggakan mengenai anaknya ketika dia bertemu
dengan teman-teman seprofesinya.
Persahabatanku dengan Jeni dimulai saat kami tak
sengaja bertemu saat registrasi 3 hari sebelum masuk sekolah. Saat itu kami
hanya saling senyum tanpa saling berkenalan dan menyebutkan nama masing-masing.
hingga hari pertama aku masuk sekolah dan mendengarkan pembagian kelas ternyata
aku dan Jeni di kelompokkan menjadi satu kelas.
“Hei, aku Jeni, 3 hari lalu yang kita sempat bertemu
ternyata satu kelas” ucapnya dengan mengawali perkenalan kami saat itu.
“Aku Devira, panggil aja Vira..” jawabku singkat.
Dan saat itulah kami saling berkenalan satu sama
lain. Keseharianku di sekolah sangat menyenangkan waktu itu apalagi di tambah
dengan kehadiran Jeni sebagai teman dekatku. Perlahan hubungan pertemanan kami
memang menjadi lebih dekat. Banyak kegiatan baik di dalam sekolah ataupun di
luar sekolah yang kita habiskan bersama. Dan kantin di belakang sekolahku
itulah yang bisa dikatakan menjadi basecamp kami dalam bercanda tawa sembari
mengisi perut kosong kami setiap harinya. Banyak hal yang sering kami bagi, dari
cerita keseharian hingga hal pribadi kami satu sama lain juga tak luput dari
pembicaraan keseharian. Kami sering heboh ketika bertemu kakak kelas yang kami
sukai saat itu. Namanya Toni, anak
kelas 2 dengan sejuta charisma yang terpancar darinya itulah yang membuat kami
tak kuasa untuk tidak menyukainya. Ada lagi Fitri, anak kelas 2 juga yang tak luput dari pembahasan kami setiap
harinya. Gadis centil dan menyebalkan itu selalu tebar pesona kesana-kemari
hingga membuat merah mata kami saat melihatnya. Dan masih banyak cerita lagi
yang selalu kami bagi setiap harinya. Saat itu betapa senangnya aku memiliki
sahabat seperti Jeni, hingga ia mampu membuatku menjadi anak yang optimis, ceria,
penuh rasa peduli dan tidak merasa terspesialkan karena statusku sebagai anak
seorang guru disana. Mungkin bisa dibilang dialah satu-satunya teman di kelasku
yang mau berteman denganku karena temanku yang lainnya banyak yang takut
mendekatiku karena memang sangat segan dengan statusku di sekolah sebagai anak
guru.
Hal lain yang sering aku lakukan dengannya adalah
nongkrong di kantin belakang sekolah. Yang tadi telah aku sebutkan, disanalah
tempat favorit kami. Aku dan Jeni sangat menyukai grup band Sheila On 7 dan
tentu saja lagu favorit kami berdua adalah Sahabat. Tak jarang kami selalu
memaksa mbok Jum untuk memutarkan lagu tersebut ketika kami sedang berada di
sana hingga tanpa disuruh pun mbok Jum tahu apa yang mesti dia lakukan tanpa
kami perlu memintanya bahkan bisa satu album dia putarkan untuk kami. Bagitulah
kedekatan kami saat itu, kami tak pernah saling bermusuhan ataupun saling
menjelekkan satu sama lain. bisa dibilang saat itu aku bagaikan menemukan kunci
gembokku yang hilang. Namun kedekatan kami itu ternyata tak semulus yang kami
pikirkan. Diam-diam ibu mengetahui kedekatanku dengan Jeni.
“Vir, ibu dengar kamu deket banget ya sama Jeni?” tanya
ibu waktu kami sedang makan malam di ruang makan.
“Iya Bu, dia anaknya baik.” jawabku.
“Ibu gak mau kamu terlalu dekat dengan dia,
betemanlah sewajarnya Vir” ucap ibu.
“Tapi aku ingin punya sahabat Bu, dan Jeni sangat
baik padaku” jawabku.
“Ibu tahu, tapi ibu cuma tidak ingin anak ibu
kenapa-kenapa. Kamu tidak tahu kan bagaimana latar belakang keluarga Jeni?
Ibunya Jeni itu seorang sinden di kampungnya sedangkan ayahnya hanyalah pegawai
rendahan di kecamatan, apalagi kalau kau tahu kedua kakaknya Jeni yang tingkah
lakunya seperti preman kampung dengan banyak Tato disekujur tubuhnya. Ibu hanya
tidak mau kau mendapatkan pengaruh buruk dari Jeni.” Kata ibu.
“Tapi Bu, itukan keluarganya bukan Jeni. Jeni selama
ini sangat baik padaku dan tak pernah mengajakku berbuat yang aneh-aneh. Aku
senang berteman dengannya Bu” sanggahku dengan penuh kesal.
“Kamu itu tidak mengerti, Vir. Pokoknya ibu cuma mau
kamu jagak jarak dengan Jeni. Tak usah berteman dekat dengannya, cari saja
teman dekat yang lain asal jangan Jeni.” Ucap ibu dengan nada tak serendah
sebelumnya.
“Tapi Bu, aku hanya…” belum selesai pembelaanku
terucap ibu sudah langsung menyerangku dengan pernyataan terakhirnya yang tidak
bisa terbantahkan lagi.
“Pokoknya ibu tidak mau mendengar kamu bermain
dengan Jeni lagi. Ibu harap kamu bisa mengerti.” Ucap ibu sekaligus menutup
pembicaran kami malam itu di meja makan.
Semenjak kejadian itu hubungan kami semakin lama
semakin jauh. Awalnya akulah yang memulai untuk menjaga jarak dengannya. Takut
kalau ibu tahu kalau aku masih dekat dengan Jeni. Hingga keganjilan tingkah
lakuku itu ditangkap oleh Jeni dan akhirnya dia tahu mengapa tingkah lakuku
berubah dari salah satu teman sekelasku. Dengan hanya hitungan hari pertemanan
kami lambat laun mulai meregang. Kami tidak bermusuhan hanya saja kami saling
menjaga jarak satu sama lain. Hingga hari itu sewaktu pulang sekolah Jeni menarik
tanganku dan membawaku ke kanting belakang sekolah.
“Vir, aku cuma mau minta maaf sama kamu. Maaf karena
latar belakang keluargaku yang tidak baik membuat pertemanan kita pun tak
diinginkan oleh ibumu seorang Guru BK. Aku tahu itu sangat wajar sekali
dilakukan oleh orang tua manapun. Asal kamu tahu, ini kesekian kalinya aku
harus kehilangan teman dekatku setelah teman dekatku di SD dulu karena latar
belakang keluargaku. Bahkan dia terpaksa dipindahklan oleh orang tuanya
kesekolahan lain. Jujur, aku sangat sayang deganmu sebagai sahabat terbaik yang
pernah aku temui. Sekali lagi maafin aku ya.” Ucapnya kepada ku.
“Aku juga
minta maaf, Jen. Dan aku berharap hubungan pertemanan kita tetap berjalan meski
tak sedekat dulu lagi.” balasku lalu dengan buru-buru kau meninggalkannya.
Aku tak berdaya saat itu mendengar ucapannya yang
begitu tulus ia katakan padaku. Ingin rasanya aku memeluknya saat itu, sahabat terbaik
yang pernah aku dapatkan. Ingin sekali rasanya aku menumpahkan segala keluh
kesahku ke dia saat itu. Perbincangan terakhir kami yang disaksikan bangunan
kantin ini, tempat favorit kami berdua.
Semenjak saat itu pertemanan kami hanya sewajarnya
saja, persis seperti apa yang diinginkan oleh ibu. Kalaupun ada yang harusnya
kami bicarakan itu hanya sewajarnya seperti pembicaraanku dengan teman
sekelasku yang lainnya. Dan semenjak itu juga aku kembali ke pribadiku yang
dahulu, cuek dan ngomong seperlunya saja. Hingga tak terasa sampai Ujian Akhir
Sekolah telah kulewati dan pengumuman kelulusan itu sudah di depan mata. Ya,
aku lulus dengan peringkat pertama di tanganku, persis seperti keinginan
orangtuaku saat. Dan akhirnya aku dan Jeni berpisah, untuk kesekian kalinya
lagi bukan karena keinginan orangtuaku tetapi keadaan dan waktulah yang akhirnya
memisahkan kita berdua.
***
Kabar terakhir darinya yang aku terima 2 tahun yang
lalu dari temanku yaitu Jeni sekarang kuliah di salah satu Perguruan Tinggi
Swasta dengan mendalami studi keperawatan. Dan aku tahu itu memang cita-citanya sejak kami satu sekolah
sekolah di SMP dulu.
“Neng, ini pesanannya, silahkan dimakan!” ucap mbok
Jum memecah lamunanku.
“Iya Mbok, terimaksih.” Jawabku.
“Oh iya Neng, beberapa minggu yang lalu mbak Jeni datang
kemari juga. Dia sangat cantik sekarang seperti neng Vira, sampai pangling Mbok
ngenalinnya untung saja neng Vira sering kesini jadi mbok sudah hafal.”
Ucapnya.
Kerongkongan ini tiba-tiba terasa kering bagaikan
padang pasir saat aku mendengar apa yang dikatakan Mbok Jum. Rasa rindu ini
masih sangat kuat, ingin rasanya aku bertemu dengannya walaupun hanya sebentar
saja. Aku hanya ingin bilang kepadanya bahwa Dia masih tetap menjadi teman
terbaik yang pernah aku miliki sampai saat ini. Pertemanan kami tak pernah
terawali dan sampai saat ini pun pertemanan kami tak pernah terakhiri. Sampai
kapan pun pengalaman luar biasa ini tak pernah aku lupakan.
Terimakasih Bu,
darimu kudapatkan semua pengalaman ini yang berharga ini. Mungkin kalau semua
ini tak pernah aku alami, aku tak akan pernah mengerti apa arti rasa kehilangan
dan rasa memiliki yang sesungguhnya, darimu aku berlajar ikhlas dalam
menjalanai hidup. Tak pernah sekali pun aku menyalahkanmu atas kejadian dulu.
Aku tahu, kau hanya ingin melakukan yang terbaik untuk anak-anakmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar