Selasa, 23 Oktober 2012

Always Remembering of You


Nuansa harmonis penuh warna oranye ruangan ini mengingatkaku kepada sekian milyaran kenangan yang terputar kembali di pelupuk mata. Senyum lebar yang selalu terpasang ketika semua kenangan masa itu teringat olehku. Alunan musik Sheila On 7 yang masih terdengar merdu dan sangat familiar di kuping selalu terdengar apik untuk kami ikut bersenandung. Semangkok Soto Ayam dengan krupuk dan es jeruk merupakan menu andalan kami ketika waktu istirahat datang. Meja ini hingga sekarang pun tak berubah bentuk, hanya berubah warnanya saja tapi tak mengurangi kenangan yang ada. Meja kedua dari belakang ini selalu menjadi meja favoritku untuk menyantap menu makan siang. Lengkap sudah, tempat favorit dengan menu makanan favorit pula. Sempurna ketika semua itu ditambah dengan kehadiran sahabat baruku, Jenita.
“Mau makan apa mbak?” suara ibu-ibu separuh baya itu memecah lamunanku.
“Seperti biasa aja mbok, soto sama es jeruk” jawabku.
“Siap mbak, datang kesini pasti kangen masa-masa kecil dulu ya mbak?” tanyannya ;agi.
Pertanyaan itu hanya kubalas dengan senyuman getir teringat semua kenangan yang sangat membuatku semakin merasa bersalah. Suara parau mbok Jum tak pernah berubah walaupun saat ini sudah berumur 62 tahun. Dia adalah saksi kunci kisah persahabatanku dengan Jeni.
Masuk ke Sekolah Menengah Pertama tentu sangat diimpikan bagi remaja seusiaku yang baru saja lulus dari Sekolah Dasar. Saat itu tepat di umurku yang ke 13 tahun, ketika anak seusiaku memang bisa dibilang masa Puber yang  mana masa itu adalah masa-masa yang penuh akan rasa ingin tahu. Mungkin bagi orang-orang dewasa kami anak SMP masih sangat kecil dan masih perlu banyak bimbingan. Ya memang, saat ini mungkin ketika mengingat masa itu 8 tahun yang lalu mampu membuat kita berkata “betapa konyolnya aku waktu itu, sok tau!!”.
***
Jeni Takisa, gadis yang biasa dipanggil dengan Jeni ini adalah teman pertama yang aku temui ketika aku baru menjadi siswi baru di salah satu Sekolah Menengah favorit di Kotaku. Dia memiliki rambut yang hitam legam sebahu dan memiliki kulit yang putih bersih. Ya bisa dibilang kulitnya lebih putih jika dibandingkan kulitku. Jeni memiliki satu lesung pipit di pipi kanannya dan apabila dia senyum maka lesung pipit itu akan terlihat sangat manis jika dipadukan dengan gigi gingsulnya yang juga dimilikinya. Orangnya sangat ceria dan pandai sekali dalam bergaul dan prestasi non ademiknya juga luar biasa apalagi di bidang olahraga dan musik.
Aku sendiri memilih untuk masuk di sekolah tersebut karena disuruh Ibuku yang notabene adalah seorang Guru BK di sana. Dan waktu itu karena akupun tidak tahu mesti melanjutkan sekolah ke mana. Yang ada dipikiranku saat itu hanyalah  mengiyakan tawaran ibuku untuk masuk ke sekolah dimana Ia mengajar di sana.
Aku memiliki perawakan yang tidak cukup tinggi dengan rambut yang tidak terlalu panjang sekitar di bawah bahu. Tak ada sesuatu yang istimewa dari fisikku karena dari kecil bisa dibilang aku sangat tidak perduli dengan penampilanku. Mungkin yang bisa sedikit dibanggakan adalah kemampuanku dibidang akademik, karena terhitung dari kelas 1 Sekolah Dasar aku tak pernah luput dari deretan ranking  10 besar. Mungkin hanya itu yang bisa orangtuaku banggakan mengenai anaknya ketika dia bertemu dengan teman-teman seprofesinya.
Persahabatanku dengan Jeni dimulai saat kami tak sengaja bertemu saat registrasi 3 hari sebelum masuk sekolah. Saat itu kami hanya saling senyum tanpa saling berkenalan dan menyebutkan nama masing-masing. hingga hari pertama aku masuk sekolah dan mendengarkan pembagian kelas ternyata aku dan Jeni di kelompokkan menjadi satu kelas.
“Hei, aku Jeni, 3 hari lalu yang kita sempat bertemu ternyata satu kelas” ucapnya dengan mengawali perkenalan kami saat itu.
“Aku Devira, panggil aja Vira..” jawabku singkat.
Dan saat itulah kami saling berkenalan satu sama lain. Keseharianku di sekolah sangat menyenangkan waktu itu apalagi di tambah dengan kehadiran Jeni sebagai teman dekatku. Perlahan hubungan pertemanan kami memang menjadi lebih dekat. Banyak kegiatan baik di dalam sekolah ataupun di luar sekolah yang kita habiskan bersama. Dan kantin di belakang sekolahku itulah yang bisa dikatakan menjadi basecamp kami dalam bercanda tawa sembari mengisi perut kosong kami setiap harinya. Banyak hal yang sering kami bagi, dari cerita keseharian hingga hal pribadi kami satu sama lain juga tak luput dari pembicaraan keseharian. Kami sering heboh ketika bertemu kakak kelas yang kami sukai saat itu. Namanya Toni, anak kelas 2 dengan sejuta charisma yang terpancar darinya itulah yang membuat kami tak kuasa untuk tidak menyukainya. Ada lagi Fitri, anak kelas 2 juga yang tak luput dari pembahasan kami setiap harinya. Gadis centil dan menyebalkan itu selalu tebar pesona kesana-kemari hingga membuat merah mata kami saat melihatnya. Dan masih banyak cerita lagi yang selalu kami bagi setiap harinya. Saat itu betapa senangnya aku memiliki sahabat seperti Jeni, hingga ia mampu membuatku menjadi anak yang optimis, ceria, penuh rasa peduli dan tidak merasa terspesialkan karena statusku sebagai anak seorang guru disana. Mungkin bisa dibilang dialah satu-satunya teman di kelasku yang mau berteman denganku karena temanku yang lainnya banyak yang takut mendekatiku karena memang sangat segan dengan statusku di sekolah sebagai anak guru.
Hal lain yang sering aku lakukan dengannya adalah nongkrong di kantin belakang sekolah. Yang tadi telah aku sebutkan, disanalah tempat favorit kami. Aku dan Jeni sangat menyukai grup band Sheila On 7 dan tentu saja lagu favorit kami berdua adalah Sahabat. Tak jarang kami selalu memaksa mbok Jum untuk memutarkan lagu tersebut ketika kami sedang berada di sana hingga tanpa disuruh pun mbok Jum tahu apa yang mesti dia lakukan tanpa kami perlu memintanya bahkan bisa satu album dia putarkan untuk kami. Bagitulah kedekatan kami saat itu, kami tak pernah saling bermusuhan ataupun saling menjelekkan satu sama lain. bisa dibilang saat itu aku bagaikan menemukan kunci gembokku yang hilang. Namun kedekatan kami itu ternyata tak semulus yang kami pikirkan. Diam-diam ibu mengetahui kedekatanku dengan Jeni.
“Vir, ibu dengar kamu deket banget ya sama Jeni?” tanya ibu waktu kami sedang makan malam di ruang makan.
“Iya Bu, dia anaknya baik.” jawabku.
“Ibu gak mau kamu terlalu dekat dengan dia, betemanlah sewajarnya Vir” ucap ibu.
“Tapi aku ingin punya sahabat Bu, dan Jeni sangat baik padaku” jawabku.
“Ibu tahu, tapi ibu cuma tidak ingin anak ibu kenapa-kenapa. Kamu tidak tahu kan bagaimana latar belakang keluarga Jeni? Ibunya Jeni itu seorang sinden di kampungnya sedangkan ayahnya hanyalah pegawai rendahan di kecamatan, apalagi kalau kau tahu kedua kakaknya Jeni yang tingkah lakunya seperti preman kampung dengan banyak Tato disekujur tubuhnya. Ibu hanya tidak mau kau mendapatkan pengaruh buruk dari Jeni.” Kata ibu.
“Tapi Bu, itukan keluarganya bukan Jeni. Jeni selama ini sangat baik padaku dan tak pernah mengajakku berbuat yang aneh-aneh. Aku senang berteman dengannya Bu” sanggahku dengan penuh kesal.
“Kamu itu tidak mengerti, Vir. Pokoknya ibu cuma mau kamu jagak jarak dengan Jeni. Tak usah berteman dekat dengannya, cari saja teman dekat yang lain asal jangan Jeni.” Ucap ibu dengan nada tak serendah sebelumnya.
“Tapi Bu, aku hanya…” belum selesai pembelaanku terucap ibu sudah langsung menyerangku dengan pernyataan terakhirnya yang tidak bisa terbantahkan lagi.
“Pokoknya ibu tidak mau mendengar kamu bermain dengan Jeni lagi. Ibu harap kamu bisa mengerti.” Ucap ibu sekaligus menutup pembicaran kami malam itu di meja makan.
Semenjak kejadian itu hubungan kami semakin lama semakin jauh. Awalnya akulah yang memulai untuk menjaga jarak dengannya. Takut kalau ibu tahu kalau aku masih dekat dengan Jeni. Hingga keganjilan tingkah lakuku itu ditangkap oleh Jeni dan akhirnya dia tahu mengapa tingkah lakuku berubah dari salah satu teman sekelasku. Dengan hanya hitungan hari pertemanan kami lambat laun mulai meregang. Kami tidak bermusuhan hanya saja kami saling menjaga jarak satu sama lain. Hingga hari itu sewaktu pulang sekolah Jeni menarik tanganku dan membawaku ke kanting belakang sekolah.
“Vir, aku cuma mau minta maaf sama kamu. Maaf karena latar belakang keluargaku yang tidak baik membuat pertemanan kita pun tak diinginkan oleh ibumu seorang Guru BK. Aku tahu itu sangat wajar sekali dilakukan oleh orang tua manapun. Asal kamu tahu, ini kesekian kalinya aku harus kehilangan teman dekatku setelah teman dekatku di SD dulu karena latar belakang keluargaku. Bahkan dia terpaksa dipindahklan oleh orang tuanya kesekolahan lain. Jujur, aku sangat sayang deganmu sebagai sahabat terbaik yang pernah aku temui. Sekali lagi maafin aku ya.” Ucapnya kepada ku.
 “Aku juga minta maaf, Jen. Dan aku berharap hubungan pertemanan kita tetap berjalan meski tak sedekat dulu lagi.” balasku lalu dengan buru-buru kau meninggalkannya.
Aku tak berdaya saat itu mendengar ucapannya yang begitu tulus ia katakan padaku. Ingin rasanya aku memeluknya saat itu, sahabat terbaik yang pernah aku dapatkan. Ingin sekali rasanya aku menumpahkan segala keluh kesahku ke dia saat itu. Perbincangan terakhir kami yang disaksikan bangunan kantin ini, tempat favorit kami berdua.
Semenjak saat itu pertemanan kami hanya sewajarnya saja, persis seperti apa yang diinginkan oleh ibu. Kalaupun ada yang harusnya kami bicarakan itu hanya sewajarnya seperti pembicaraanku dengan teman sekelasku yang lainnya. Dan semenjak itu juga aku kembali ke pribadiku yang dahulu, cuek dan ngomong seperlunya saja. Hingga tak terasa sampai Ujian Akhir Sekolah telah kulewati dan pengumuman kelulusan itu sudah di depan mata. Ya, aku lulus dengan peringkat pertama di tanganku, persis seperti keinginan orangtuaku saat. Dan akhirnya aku dan Jeni berpisah, untuk kesekian kalinya lagi bukan karena keinginan orangtuaku tetapi keadaan dan waktulah yang akhirnya memisahkan kita berdua.
***
Kabar terakhir darinya yang aku terima 2 tahun yang lalu dari temanku yaitu Jeni sekarang kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Swasta dengan mendalami studi keperawatan. Dan aku tahu  itu memang cita-citanya sejak kami satu sekolah sekolah di SMP dulu.
“Neng, ini pesanannya, silahkan dimakan!” ucap mbok Jum memecah lamunanku.
“Iya Mbok, terimaksih.” Jawabku.
“Oh iya Neng, beberapa minggu yang lalu mbak Jeni datang kemari juga. Dia sangat cantik sekarang seperti neng Vira, sampai pangling Mbok ngenalinnya untung saja neng Vira sering kesini jadi mbok sudah hafal.” Ucapnya.
Kerongkongan ini tiba-tiba terasa kering bagaikan padang pasir saat aku mendengar apa yang dikatakan Mbok Jum. Rasa rindu ini masih sangat kuat, ingin rasanya aku bertemu dengannya walaupun hanya sebentar saja. Aku hanya ingin bilang kepadanya bahwa Dia masih tetap menjadi teman terbaik yang pernah aku miliki sampai saat ini. Pertemanan kami tak pernah terawali dan sampai saat ini pun pertemanan kami tak pernah terakhiri. Sampai kapan pun pengalaman luar biasa ini tak pernah aku lupakan.
Terimakasih Bu, darimu kudapatkan semua pengalaman ini yang berharga ini. Mungkin kalau semua ini tak pernah aku alami, aku tak akan pernah mengerti apa arti rasa kehilangan dan rasa memiliki yang sesungguhnya, darimu aku berlajar ikhlas dalam menjalanai hidup. Tak pernah sekali pun aku menyalahkanmu atas kejadian dulu. Aku tahu, kau hanya ingin melakukan yang terbaik untuk anak-anakmu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar