Senin, 11 Juni 2012

Mekanisme Sekolah Bertaraf Internasional di Indonesia dan Permasalahannya


      A. PENDAHULUAN
RSBI atau SBI merupakan kemajuan di dunia pendidikan dengan memperhatikan kualitas pendidikan di mana secara awam ditafsirkan sekolah dengan kualitas lulusan yang mampu menggunakan bahasa inggris khususnya yang sampai saat ini atau bahkan untuk tahun ke depanpun merupakan tolak ukur utama siswa atau seseorang dikatakan mempunyai kemampuan lebih di dunia pendidikan.
Pada dasarnya RSBI dimaksudkan agar mutu pendidikan dapat dimaksimalkan dengan melakukan rintisan sekolah bertaraf internasional dengan menggunakan pengantar bahasa inggris meskipun tidak mengesampingkan bahasa indonesia sebagai bahasa nasional. Sebagaimana diketahui secara umum bahwa seseorang dalam merintis arah kehidupan sangat ditentukan oleh kemampuan dan tingkat pendidikan yang dimiliki, di mana sampai saat ini untuk memasuki sekolah yang lebih tinggi dibutuhkan kemampuan lebih atau bahkan untuk memasuki dunia kerja nantinya diutamakan seseorang yang mempunyai berbagai keahlian dan kemampuan. Salah satu yang sampai saat ini yang sangat penting adalah kemampuan menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, dalam arti mampu aktif berbahasa inggris. Lebih-lebih diprasyaratkan adanya sertifikat TOEFL yang menjadikan momok bagi sebagian besar lulusan sekolah untuk memasuki dunia kerja. Hal ini tidak mengesampingkan pentingnya kemampuan yang harus dimiliki seseorang seperti Komputer, Bahasa Asing yang lain, dan lain-lain.
Pemerintah sebagai salah satu pihak dalam penyelenggaraan pendidikan nasional membuat UU Nomor 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 50 Ayat 3 yang memuat peraturan bahwa tiap daerah hendaknya mempersiapkan pendirian sekolah internasional. Dalam rangka merealisasikan peraturan tersebut, maka pemerintah mencanangkan program perencanaan peningkatan mutu pendidikan melalui Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). RSBI dilaksanakan oleh sekolah-sekolah nasional yang dipersiapkan secara khusus agar memenuhi segala persyaratan untuk menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).
Program RSBI mendapat sambutan yang cukup menggembirakan dengan maraknya pendirian RSBI pada jenjang-jenjang pendidikan, baik di kota besar maupun di daerah. Bahkan hingga tahun 2010 ini untuk jenjang pendidikan sekolah menengah, jumlah SMA RSBI di Indonesia mencapai 319 sekolah yang tersebar di 202 kota di 33 provinsi.
Antusiasme yang cukup tinggi terhadap pendirian RSBI tidak hanya memberi efek positif berupa harapan terhadap peningkatan mutu pendidikan, tapi juga memberi efek negatif. RSBI kini sudah menjadi sebuah trend bagi sekolah untuk mengangkat namanya. Sekolah berlomba-lomba untuk mendapat status RSBI tanpa memperhatikan apakah kemampuan sekolah akan dapat mencapai standar yang telah ditentukan.

      B.    ISI
a.      Tujuan Diselenggarakan RSBI
Tujuan Penyelenggaraan RSBI adalah :
1. Untuk membina sekolah yang secara bertahap ditingkatkan dan dikembangkan komponen, aspek, dan indicator Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan sekaligus keinternasionalannya;
2. Untuk menghasilkan suatu sekolah yang memenuhi IKKM (SNP) dan memenuhi IKKT sekaligus, sehingga dapat menjadi SBI;
3. Sekolah  merintis dapat menghasilkan lulusan yang memilki kompetensi lulusan dan diperkaya dengan standar kompetensi pada salah satu sekolah terakreditasi di negara anggota Organization for economic  Co-operation anf Development (OECD) atau negara maju lainnya;
4. Sekolah merintis dapat menghasilkan lulusan yang memilki daya saing komparatif tinggi yang dibuktikan dengan kemampuan menampilkan  unggulan lokal di tingkat internasional;
5. Sekolah merintis dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan bersaing dalam berbagai lomba internasional yang dibuktikan dengan perolehan medali emas, perak, perunggu dan bentuk penghargaan internasional lainnya;
6. Sekolah merintis dapat menghasilkan lulusan yang memilki kemampuan bersaing kerja di luar negeri terutama bagi lulusan sekolah menengah kejuruan;
7. Sekolah merintis dapat menghasilkan lulusan yang memilki kemampuan berperan aktif secara internasional dalam menjaga kelangsungan hidup dan perkembangan dunia dari perspektif ekonomi, sosio-kultural, dan lingkungan hidup;
8. Sekolah merintis dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan menggunakan dan mengnembangkan teknologi komunikasi dan informasi secara profesional.

b.      Karakteristik RSBI
Pada umumnya sekolah disebut sebagai sekolah internasional antara lain memilki ciri-ciri:
1. Sebagai  anggota atau termasuk dalam komunitas sekolah dari negara-negara/lembaga pendidikan internsional yang ada di negara-negara OECD dan/atau negara maju lainnya,
2.  Terdapat guru-guru dari negara tersebut,
3.  Dapat menerima peserta didik dari negara asing, dan
Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah sekolah nasional yang menyelenggarakan pendidikan berdasarkan atau telah memenuhi standar nasional pendidikan (SNP) sebagai indikator kinerja kunci minimal (IKKM), dan mutu internasional sebagai indikator kinerja kunci tambahan (IKKT), sehingga lulusannya memiliki mutu/kualitas bertaraf nasional dan internasional sekaligus. Kualitas bertaraf nasional diukur dengan SNP dan kualitas bertaraf internasional diukur dengan kriteria-kriteria internasional,  yang dikaji secara seksama melalui:
1)   Perbandingan SNP dengan standar/ kriteria mutu internasional,
2)   Pertukaran informasi, studi banding, dan
3) Mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan. Jadi, kualitas internasional merupakan kelebihan dari kualitas nasional (SNP), baik berupa penguatan, pendalaman, pengayaan, perluasan maupun penambahan terhadap SNP.

c.       Standar Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)
Dalam rangka pencapaian tujuan pendirian RSBI, terdapat beberapa standar yang harus dipenuhi oleh sekolah. Standar tersebut antara lain:
1.   Output/ lulusan SBI
Keluaran (output) dari Sekolah Bertaraf Internasional diharapkan dapat memiliki kemampuan dalam menguasai Standar Nasional Pendidikan (SNP), yang merupakan standar minimal di tingkat nasional, plus kemampuan lain yang diadopsi  atau diadaptasi dari dalam atau luar negeri, yang telah memiliki mutu yang diakui secara internasional.
2.   Proses Penyelenggaraan RSBI
Proses penyelenggaraan RSBI mampu menanamkan dan menerapkan nilai, norma dan etika. Pembelajaran diterapkan dengan keterbukaan dan demokratis yang mampu menumbuhkembangkan kreativitas, inovasi dan daya nalar siswa. Bahasa pengantar pembelajaran adalah Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing (khususnya Bahasa Inggris), serta menggunakan media pendidikan yang berteknologi tinggi.
3.   Input
Input RSBI merupakah modal dasar dari kelancaran berlangsungnya proses pendidikan bertaraf internasional. Input tersebut, antara lain :
a. Siswa Baru
Input dalam Rintisan Sekolah Berstandar Internasional mencakup siswa baru yang diseleksi secara ketat melalui saringan rapor, ujian akhir sekolah, scholastic aptitude test (SAT), kesehatan fisik, dan wawancara. Siswa baru RSBI harus memiliki kecerdasan yang unggul, meliputi kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, dan berbakat. 
b. Kurikulum
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional merupakan cikal bakal dari Sekolah Bertaraf Internasional. Oleh karena itu kurikulum yang dipakai harus dikembangkan agar memenuhi isi Standar Nasional Pendidikan serta mengadopsi kurikulum beberapa sekolah dari dalam atau luar negeri yang memiliki keunggulan dan reputasi di forum internasional.
c. Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Ada beberapa persyaratan baik untuk pendidik maupun tenaga pendukung seperti laboran, pustakaan, teknisi komputer, tenaga administrasi, dan kesekretariatan dalam Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional.
·  Kepala sekolah harus memiliki kemampuan profesional dalam manajemen, kepemimpinan, organisasi, administrasi, dan kewirausahaan.
·  Guru dituntut memiliki kemampuan profesional, kepribadian, dan sosial bertaraf internasional. Persayaratan penting yang harus dimiliki yakni penguasaan komunikasi menggunakan bahasa asing serta kemampuan menggunakan information communication technology (ICT).
·  Tenaga pendukung juga harus mampu berkomunikasi dalam bahasa asing, khususnya bahasa inggris. Mereka juga dituntut untuk dapat mengoperasikan alat-alat berbasis ICT.
d. Sarana dan Prasarana
Indikator sarana prasarana Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional ditandai dengan beberapa sarana prasarana diantaranya sarana pembelajaran bertaraf TIK di setiap ruang kelas, perpustakaan juga dilengkapi dengan sarana digital yang memberikan akses ke sumber pembelajaran bertaraf TIK di seluruh dunia, serta sekolah harus dilengkapi dengan ruang multi media, ruang unjuk seni budaya, faslitas olah raga, klinik, dan sebagainya. 

         d.      Pembiayaan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)
            Untuk mencapai standar yang telah ditentukan diatas, tidak dapat dipungkiri bahwa penyelenggaraan RSBI memerlukan biaya yang cukup besar. RSBI membutuhkan banyak perbaikan, pengembangan, serta penyediaan kelengkapan fasilitas untuk mengejar standar internasional dan menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) sepenuhnya.
Maka dari itu pemerintah pusat dan daerah membuat suatu kesepakatan dalam pembiayaan , yaitu pemerintah pusat 50%, pemerintah propinsi 30%, dan pemerintah kabupaten/ kota 20%. Namun hal ini dapat berubah tergantung pada kekayaan daerah, artinya pemerintah daerah dapat memberikan kontribusi lebih daripada kesepakatan yang telah dibuat. Namun, diharapkan bahwa subsidi dari pemerintah pusat hanya dalam fase rintisan (RSBI) dengan kurun waktu 3 tahun dan pembiayaan selanjutnya dapat ditangani oleh pemerintah daerah melalui otonomi daerah.
         Bagi sekolah swasta, pembiayaan RSBI diserahkan sepenuhnya pada yayasan yang menaungi sekolah tersebut. Namun pemerintah juga dapat memberikan subsidi melalui persyaratan tertentu. 
e.       Pengembangan RSBI
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam rangka pengembangan RSBI, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Workshop, misalnya: pengembangan kurikulum, pengembangan materi, peningkatan kemampuan bahasa Inggris guru dan siswa;
2. Rekrutmen guru-guru dan tenaga kependidikan yang benar- benar professional memiliki basic mengajar yang memadai;
3. Pengiriman guru studi banding atau magang ke sekolah bertaraf internasional luar negeri;
4. Peningkatan tatakelola melalui benchmarking, dan membangun network dengan salah satu sekolah di luar negeri (sister school);
5. Menjalin MoU dengan sekolah yang sudah mulai mapan dalam penyelenggaraannya. Upaya ini paling tidak sebagai bentuk lesson study yang secara empirik memiliki berbagai keunggulan.
f.       Apa yang harus dilakukan oleh guru dan kepala sekolah RSBI
1.      Kepala Sekolah dan guru harus:
· Mempunyai kemampuan bahasa Inggris yang memadai (standarisasi melalui tes TOEFL)
·   Mempunyai kemampuan mengenai teknologi informasi (IT) yang memadai
·  Mempunyai kemampuan yang baik dalam mengajar mata pelajaran yang dikuasai.
·  Mempunyai kemampuan penguasaan materi yang baik dalam bidangnya (Sains, ips, matematika,dll.)
2.      Guru harus menunjukkan:
a.      Penerapan pengajaran yang berkualitas:
·  Menunjukkan kecakapan mengajar yang berkualitas (High Quality Teaching Practice) yang mendukung peningkatan pembelajaran siswa dalam area pembelajaran yang terkait
· Menunjukkan kemampuan untuk menggunakan teknologi pembelajaran dalam program pengajaran dan pembelajaran
· Menunjukkan kemampuan untuk merencanakan program pembelajaran yang mencakup semua siswa dengan berbagai macam tingkat kemampuannya.
· Menunjukkan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran siswa yang berbahasa Inggris di setiap kelas
· Menunjukkan kemampuan untuk menilai dan memonitor pencapaian siswa dan memberikan laporan kepada orang tua sehingga mereka secara rutin benar-benar mengetahui kemajuan anak-anaknya.
·   Menunjukkan kemampuan untuk menjaga standar tinggi sikap dan kedisiplinan yang membentuk lingkungan kelas yang positif
b.   Kontribusi pada area pembelajaran dan pengembangan kurikulum
· Menunjukkan level pengetahuan dan pengertian yang komprehensif sesuai dengan area kurikulum yang relevan dan gaya pembelajaran siswa
· Menunjukkan kemampuan untuk secara sukses mengimplementasikan dan mengevaluasi inisiatif kurikulum sesuai dengan aturan sekolah dalam kerjasama tim.
·  Menunjukkan kapasitas untuk menilai secara kritis penerapan professional dan kemampuan untuk membuat strategi untuk meningkatkan kualitas pengajaran dan pembelajaran siswa
c.       Hubungan (yang baik) dengan siswa, staf dan orang tua
·   Menunjukkan kemampuan untuk membina hubungan konstruktif dengan siswa yang menimbulkan sikap positif untuk pembelajaran
·     Menunjukkan kecakapan interpersonal dan komunikasi tingkat tinggi ketika berinteraksi dengan siswa, orang tua dan sesama guru.
·    Menunjukkan nilai dan sikap yang patut di contoh sebagai penerapan tanggung jawab professional dan intelektual, pengembangan fisik dan sosial siswa.
d.      Kontribusi kepada sekolah
· Menunjukkan kemampuan untuk berkontribusi bagi pengembangan dan implementasi program, dalam aturan kebijakan sekolah, yang bisa menyempurnakan pemblajaran siswa di sebuah lingkungan internasional
·  Menunjukkan kemampuan untuk merespon kebutuhan dan prioritas kependidikan yang muncul di lingkungan internasional
·  Menunjukkan komitmen dan kontribusi aktif bagi banyak kegiatan sekolah
          g.      Pemasalahan RSBI di Indonesia
1. Penetapan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam mengajarkan beberapa bidang studi menimbulkan banyak masalah dan kontroversi.
Kontroversinya adalah bahwa secara empirik ternyata kebijakan ini justru dapat menyebabkan merosotnya nilai dan kompetensi siswa di bidang studi yang diajarkan. Banyak hasil kajian dan juga pengalaman negara Malaysia selama hampir 8 tahun ternyata menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Inggris (asing) untuk bidang studi IPA dan Matematika justru menurunkan mutu siswa (baca http://ms.wikipedia.org/wiki/Pengajaran_dan_Pembelajaran_Sains_dan_Matematik_dalam_Bahasa_Inggeris).
Pengalaman negara Malaysia dengan program pengajaran sains dan matematik di sekolah-sekolah di Malaysia dengan menggunakan bahasa pengantar bhs Inggris[disebut PPSMI] yang telah dimulai sejak tahun 2003 dan akan dihentikan secara total pada 2012 nanti karena dianggap gagal. Dari satu hasil riset skala besar yang melibatkan pakar dari sembilan universitas negeri di Malaysia dan lebih dari 15 ribu siswa, PPSMI ini memang tidak menghasilkan apa yang diharapkan pencetusnya. Yang bisa survive hanya sekolah yang berada di kota besar dan sekolah berasrama di kota; pada jenis sekolah lainnya nyaris tanpa ampun terjadi degradasi penurunan mutu. Jadi alih-alih akan meningkatkan mutu pembelajaran Matematika dan IPA yang terjadi justru sebaliknya. Bahkan negara Malaysia yang jauh lebih siap secara budaya, infrastruktur, dan SDM dalam menerapkan sistem ini menganggap program ini gagal diterapkan dan akan kembali menggunakan bahasa Melayu untuk mengajar Sains dan Matematika di sekolah-sekolah mereka. Jadi sungguh salah besar jika kita justru akan mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh negara Malaysia.

2. Penetapan bahasa Inggris untuk digunakan sebagai bahasa pengantar untuk bidang studi IPA dan Matematika adalah kebijakan yang sembrono dan tidak didasarkan pada studi empiris sama sekali.
Ide menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran juga digunakan secara serampangan dan benar-benar di luar kaidah sehingga justru mengakibatkan kekacauan dan kemerosotan mutu pembelajaran nasional kita. Adalah tidak mungkin kita mengharapkan guru-guru kita untuk menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dengan kemampuan berbahasa Inggris yang ada. Berdasarkan hasil test TOEFL pada 600 guru dan kepala sekolah RSBI terungkap bahwa 60% dari mereka berada pada level paling rendah kemampuan bahasanya. Mengharapkan guru-guru yang berada pada level terendah kemampuan berbahasa Inggrisnya untuk mengajarkan materi IPA dan Matematika dalam bahasa Inggris adalah kebijakan yang sungguh tidak bertanggungjawab.

3. Penggunaan kata atau istilah ‘bertaraf internasional’ akhirnya menimbulkan banyak program-program yang dipaksakan agar dapat memenuhi kriteria ‘bertaraf internasional’ tersebut.
Penggunaan standar ISO, pengadopsian sistem Cambridge, IBO, Sister School, dll. yang dimaksudkan untuk memberikan justifikasi ‘bertaraf internasional’ tersebut sebetulnya tidaklah esensial dan sekedar aksesoris dan kosmetik. Hal ini menimbulkan konsekuensi dan resiko di bidang akademik maupun biaya yang mubazir. Salah satunya adalah kesalahan asumsi bahwa Sekolah Bertaraf Internasional itu harus diajarkan dalam bhs asing (Inggris khususnya) dengan menggunakan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD. Padahal negara-negara maju seperti Jepang, Perancis, Finlandia, Jerman, Korea, Italia, dll. yang kita jadikan rujukan tidak perlu menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar jika ingin menjadikan sekolah mereka Bertaraf Internasional.

4. Istilah ‘bertaraf internasional” ini kemudian diterjemahkan dan diinterpretasikan secara bebas tanpa kajian dan studi yang layak.
Penekanan pada penggunaan piranti media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD juga menyesatkan seolah tanpa itu maka sebuah sekolah tidak bisa bertaraf internasional. Sebagian besar sekolah hebat di luar negeri masih menggunakan kapur dan tidak mensyaratkan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD sebagai prasyarat kualitas pendidikan mereka. Program ini nampaknya lebih mementingkan alat ketimbang proses. Sekolah menafsirkan SBI itu sarananya harus wah, ada lap top, infocus, hotspot, AC, VCD. Padahal pendidikan adalah lebih ke masalah proses ketimbang alat. ‘Internasionalisasi’ pendidikan dipandang dari segi fasilitasnya dan bukan pada prosesnya.

5.  Anggapan bahwa Sekolah Bertaraf Internasional hanyalah bagi siswa yang memiliki standar kecerdasan tertentu.
Sekolah yang bertaraf internasional dianggap tidak bisa diterapkan pada siswa yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata. Ini juga mengasumsikan bahwa SNP (Standar Nasional Pendidikan) hanyalah bagi mereka yang memiliki tingkat kecerdasan ‘rata-rata’. Ini adalah asumsi yang berbahaya dan secara tidak sadar telah ‘mengkhianati’ SNP itu sendiri karena menganggap SNP ‘tidak layak’ bagi siswa-siswa cerdas Indonesia. Lantas untuk apa Standar Nasional Pendidikan jika dianggap belum mampu untuk memberikan kualitas yang setara dengan standar internasional? Ini juga paham yang diskriminatif dan eksklusif dalam pendidikan dan menganggap kecerdasan intelektual yang menonjol merupakan segala-galanya sehingga perlu mendapat perhatian dan fasilitas lebih daripada siswa yang tidak memilikinya. Pendidikan yang berorientasi ke hasil adalah paradigma lama dan telah digantikan oleh pendidikan yang berorientasikan pada proses karena pendidikan itu sendiri adalah sebuah proses.

6. Eksperimen kebijakan RSBI ini jelas salah sasaran karena dengan kecemasan yg sama akan kualitas pendidikan yg dianggap merosot pemerintah AS di bawah George Bush kemarin justru mengeluarkan paket NCLB (No Children Left Behind) yg justru menyasar pada siswa-siswa di level terbawah yg diberi penanganan khusus agar tak ada lagi yg tertinggal secara akademik. Dengan mengangkat kualitas siswa paling bawah sehingga tak ada siswa yg ‘left behind’ maka diharapkan akan mengangkat agregat kualitas pendidikan secara makro.
Bandingkan ini dengan program RSBI yg justru ditujukan pada siswa-siswa paling berbakat (cream of the cream) dan diberi perlakuan khusus dengan dana berlimpah padahal mereka secara ekonomi dan akademik sebenarnya lebih mampu dan tidak memerlukan bantuan dibandingkan siswa yg tertinggal. Program RSBI ini malah mengabaikan siswa yg secara ekonomis dan akademis justru membutuhkan penanganan dan biaya. Sesungguhnya program RSBI ini adalah program yg memalukan bangsa dan mengkhianati rakyat kecil. Ingat bahwa ini adalah program pemerintah yg dibiayai oleh pajak dan hutang negara dan bukan program swasta.

7. Kesalahan asumsi lain adalah bahwa ‘sekolah bertaraf internasional’ ini haruslah diajar oleh guru-guru yang memiliki gelar S-2 (tanpa memperdulikan kesesuaian dengan bidang studi yang diajarkan di kelas). Ini adalah interpretasi yang tidak memiliki acuan akademik maupun akademik samasekali selain ‘rule of thumb’ belaka. Kebijakan ini juga bertentangan dengan UU Sisdiknas yang hanya mewajibkan guru untuk memiliki gelar sarjana S-1. Tak ada kajian empirik yang menguatkan kebijakan mengenai guru bergelar master ini dan hanya ditetapkan sekedar untuk menunjukkan eksklusifitas.

8. Salah satu alasan yang dikemukakan dalam penyelenggaraan SBI ini adalah untuk mencegah kalangan menengah ke atas untuk mengirim anaknya keluar negeri karena ingin memberikan pendidikan yang bermutu bagi anaknya. Tentu saja alasan ini sangat mengada-ada. Apa ada bukti bahwa dengan adanya program RSBI ini maka orang tua yg semula ingin menyekolahkan anaknya di luar negeri lantas membelokkannya ke sekolah RSBI?
Jika argumen bahwa program RSBI dibuat utk mencegah anak-anak orang kaya bersekolah ke Luar Negeri maka ini sungguh naïf. Kenapa pemerintah harus membuat program khusus untuk mencegah anak-anak kaya bersekolah di Luar Negeri? Berapa banyakkah sebenarnya siswa menengah kita yg belajar ke Luar Negeri dan seberapa urgen masalahnya sehingga harus dibuatkan program khusus untuk mencegahnya? Mengapa pemerintah mesti mencegah anak-anak orang kaya tersebut bersekolah ke Luar Negeri? Apa kepentingan pemerintah (dalam hal ini kementerian pendidikan) dengan mencegah mereka belajar ke Luar Negeri? Anak-anak pintar (apalagi kaya) dengan mudah bisa mencari pendidikan bermutu di mana saja. Bagi mereka itu pintu utk masuk ke mana saja selalu terbuka lebar. Mereka tidak butuh sekolah gratis dan bisa bayar sekolah swasta semahal apapun. Uang bukan masalah bagi mereka dan pemerintah tidak perlu repot-repot membuatkan sekolah khusus bagi mereka agar tidak perlu belajar ke luar negeri dan justru sebaliknya dorong mereka utk bersekolah ke swasta dan kalau perlu ke luar negeri.

9. Program SBI ini di lapangan ternyata menciptakan kesenjangan sosial pada siswa.
Program SBI menjadikan sekolah yang mengikutinya menjadi eksklusif dan menciptakan kastanisasi karena hanya bisa dimasuki oleh anak-anak kalangan menengah ke atas. Tingginya pembiayaan yang dikenakan pada orang tua siswa membuat sekolah-sekolah SBI ini tidak dapat dimasuki oleh anak-anak dari kalangan bawah. Akibatnya terjadi kesenjangan sosial di sekolah. Siswa yang belajar di program ini merasa seperti kelompok elit yang berbeda dengan siswa kelas reguler.

10.Salah satu kritik terbesar dari masyarakat tentang SBI ini adalah bahwa program ini telah memberi legitimasi kepada sekolah untuk melakukan komersialisasi pendidikan. Pendidikan diperdagangkan justru oleh pemerintah yang seharusnya memberikan pelayanan pendidikan kepada rakyatnya secara gratis dan juga bermutu. Komersialisasi pendidikan ini adalah pengkhianatan terhadap tujuan pendirian bangsa dan negara. Saat ini sekolah-sekolah publik RSBI bahkan telah menjadi lebih swasta dari swasta dalam memungut biaya pada masyarakat. Hampir semua sekolah RSBI menarik dana dari masyarakat dengan biaya tinggi yang sebenarnya sungguh tidak layak mengingat mereka adalah sekolah publik yang semestinya dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah dan ‘haram’ sifatnya menjadi komersial. Saat ini biaya untuk masuk ke sekolah SMA RSBI mencapai Rp. 15.000.000,- untuk biaya masuknya dan Rp. 450.000,- untuk SPP-nya. (panduan Seminar Nasional SBI).

11.Salah satu masalah yang muncul dari istilah ‘bertaraf internasional’ adalah kerancuan dan keganjilan. Sungguh ganjil jika sebuah UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) tiba-tiba memunculkan sebuah istilah ‘bertaraf internasional’ ! Mau dimasukkan ke mana dan dengan konstelasi bagaimana sebuah sistem pendidikan yang ‘bertaraf internasional’ dalam sebuah Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), apalagi dianggap sebagai standar tertinggi? Coba bayangkan betapa ganjilnya sebuah UU tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang justru mengagung-agungkan kurikulum negara asing (OECD).

12.Keganjilan dan ambigu lainnya adalah masalah evaluasi.
Meski menyandang nama ‘bertaraf internasional’ tapi siswanya masih harus ikut ujian nasional. Adalah tidak mungkin sekolah harus mempersiapkan siswa untuk mengikuti dua sistem ujian yang berbeda (nasional dan internasional) karena itu sangat memberatkan guru dan siswa serta tidak bermanfaat. Selain itu dengan terburu-buru sekolah RSBI/ SBI kita lantas mengadopsi sistem ujian Cambridge (CIE) bagi siswa-siswanya agar dapat disebut ‘bertaraf atau berstandar intenasional’ padahal kurikulum nasional kita tak ada hubungannya dengan sistem tersebut. Ujian Cambridge juga tidak dipersyaratkan bagi siswa yang hendak belajar ke luar negeri . Siswa-siswa kita yang hendka belajar ke luar negeri tidakpernah dipersyaratkan harus memiliki harus lulus ujian Cambridge sehingga mengikuti ujian Cambridge sebenarnya justru memberatkan siswa kita apalagi yang tidak ingin melanjutkan studinya ke luar negeri.

13.Kesalahan konseptual (R)SBI adalah terutama pada penekanannya pada segala hal yang bersifat akademik dengan menafikan segala yang non-akademik. Semua keunggulan yang hendak dicapai oleh program SBI ini adalah keunggulan akademik semata dan tak ada lain. Seolah tujuan pendidikan adalah untuk menjadikan siswa untuk menjadi seseoarang yang cerdas akademik belaka. Tak ada dibicarakan tentang keunggulan di bidang Seni, Budaya, dan Olahraga. Padahal paradigma keunggulan akademik adalah pandangan yang sudah sangat kuno. Seolah ‘bertaraf internasional’ adalah keunggulan akademik padahal justru Seni, Budaya, dan Olahragalah yang akan lebih mampu mengantarkan kita untuk bersaing dan tampil di dunia internasional. Di negara lain pemerintah juga menyelenggarakan pendidikan khusus bagi anak-anak yang paling berbakat agar mereka dapat melesatkan potensi mereka tanpa bergantung pada siswa yang lambat. Ada beberapa sekolah publik untuk gifted students di Australia. Meski demikian pembiayaannya tidak dengan menarik iuran pada orang tua. Sekolah tersebut harus kreatif mencari dana untuk membiayai kegiatan-kegiatannya yang padat tersebut.

      C.    PENUTUP
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, diharapkan dapat meminimalisasi praktek kapitalisasi untuk mengatasi pembiayaan yang besar. Di sisi lain, pemerataan kesempatan untuk mengeyam pendidikan di RSBI juga dapat terbuka lebar bagi semua kalangan.
Adapun solusi yang perlu digagas meliputi  standarisasi seleksi penerimaan siswa baru RSBI , dan pembukaan program mandiri dalam penerimaan siswa baru. Dua solusi tersebut bertujuan untuk melaksanakan amanat pemerataan pendidikan yang telah ada dalam undang-undang, dan perbaikan prosedur program subsidi silang secara transparan dan merata sehingga dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Pertama adalah sistem seleksi penerimaan siswa baru RSBI yang distandarisasi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten / Kota, yang bertujuan agar input siswa baru RSBI benar-benar berkualitas dan proses seleksi siswa menjadi transparan. Standar tes seleksi masuk RSBI ini meliputi penyaringan nilai raport, nilai Ujian Akhir Nasional, dan tes tulis. Untuk tes psikologi siswa tidak perlu distandarkan oleh pemerintah karena sudah ada instansi terkait yang telah memiliki kualifikasi tersendiri yang akan menjalin kerjasama dengan sekolah.
Kedua, adalah menjalankan program subsidi silang melalui dibukanya program mandiri atau jalur khusus bagi sekolah RSBI. Sehingga akan ada dua jalur masuk RSBI, yaitu RSBI reguler dan RSBI mandiri. Pembedaan dua jalur ini ada pada kesanggupan pembayaran biaya sekolah. Kemudian, adanya pembedaaan jalur masuk, maka pihak sekolah akan mempunyai pemetaan kemampuan ekonomi orang tua / wali siswa secara jelas, sehingga sekolah akan dapat menjalankan program subsidi silang dengan tepat sasaran kepada siswa yang memang tidak mampu secara ekonomi.
Maka, dengan adanya gagasan baru diatas, diharapkan dapat menjadikan RSBI sebagai sekolah yang benar-benar berkualitas dan terbuka bagi semua kalangan.
Adanya standar dan mekanisme yang transparan pada penerimaan siswa baru, dapat menjaring siswa baru yang benar-banar berkualitas dan dapat menerima proses pembelajaran di RSBI sehingga hasil belajar pun akan maksimal.
Serta adanya pembukaan jalur mandiri di RSBI sebagai pelaksanaan dari program subsidi silang, akan menjamin pemerataan kesampatan pendidikan bagi semua kalangan. RSBI tidak lagi menjadi sekolah eksklusif bagi kalangan tertentu, dan kualitas pendidikannya juga benar-benar berkualitas dan bersaing di forum internasional untuk mengangkat nama pendidikan Indonesia.
Pemerintah sebagai salah satu pihak dalam penyelenggaraan pendidikan nasional membuat UU Nomor 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 50 Ayat 3 yang memuat peraturan bahwa tiap daerah hendaknya mempersiapkan pendirian sekolah internasional. Dalam rangka merealisasikan peraturan tersebut, maka pemerintah mencanangkan program perencanaan peningkatan mutu pendidikan melalui Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). RSBI dilaksanakan oleh sekolah-sekolah nasional yang dipersiapkan secara khusus agar memenuhi segala persyaratan untuk menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).
Program RSBI mendapat sambutan yang cukup menggembirakan dengan maraknya pendirian RSBI pada jenjang-jenjang pendidikan, baik di kota besar maupun di daerah. Bahkan hingga tahun 2010 ini untuk jenjang pendidikan sekolah menengah, jumlah SMA RSBI di Indonesia mencapai 319 sekolah yang tersebar di 202 kota di 33 provinsi.
Antusiasme yang cukup tinggi terhadap pendirian RSBI tidak hanya memberi efek positif berupa harapan terhadap peningkatan mutu pendidikan, tapi juga memberi efek negatif. RSBI kini sudah menjadi sebuah trend bagi sekolah untuk mengangkat namanya. Sekolah berlomba-lomba untuk mendapat status RSBI tanpa memperhatikan apakah kemampuan sekolah akan dapat mencapai standar yang telah ditentukan.
Selain itu, status RSBI juga berpengaruh terhadap besarnya biaya yang harus dibayarkan oleh orang t5ua / wali siswa. Besarnya beban biaya RSBI disebabkan sekolah perlu menyesuaikan diri untuk mencapai standar internasional. Standar internasional yang dimaksudkan adalah dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan sehingga memiliki daya saing di forum internasional. Namun di sisi lain, subsidi yang diberikan pemerintah belum dapat sepenuhnya menyokong RSBI sehingga pembiayaan dibebankan pada wali murid.
Besarnya biaya sekolah menimbulkan implikasi lainnya berupa terbatasnya golongan masyarakat yang dapat bersekolah di sekolah RSBI. Hanya siswa dari kalangan mampu secara ekonomi yang dapat menikmati pendidikan bertaraf internasional. Terjadi sebuah ketidakmerataan atas hak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu antara siswa yang mampu dan yang tidak mampu dalam hal ekonomi. Meskipun pemerintah telah menawarkan program subsidi silang untuk menjamin siswa kurang mampu untuk bersekolah di RSBI, kurang meratanya pendidikan antara golongan mampu dan kurang mampu masih menjadi sebuah masalah yang harus dipecahkan.
Karena jika hal ini terus dilaksanakan, maka RSBI akan condong pada praktek kapitalisasi dalam pendidikan. Pada kapitalisasi pendidikan, hanya orang dari golongan mampu yang bisa menikmati fasilitas pendidikan. Hal ini bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional pasal 50 ayat 1 yang mengemukakan bahwa tiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam hal pendidikan. Praktek kapitalisme harus dibebaskan dalam hak dasar manusia, salah satunya adalah pendidikan.